Manado – Nama Notaris Naftali Kristian Poae belakangan ini ramai diperbincangkan publik usai melontarkan kritik terbuka terhadap manajemen Bank SulutGo (BSG). Aksinya yang membawa data bank ke ranah hukum dan mempublikasikannya melalui media sosial maupun media massa menuai reaksi beragam, dari apresiasi atas transparansi hingga tudingan pelanggaran etika.
Poae, yang sebelumnya tercatat sebagai notaris rekanan BSG, dinilai sebagian kalangan melanggar prinsip profesional dengan mengungkap informasi internal lembaga yang pernah menjalin kerja sama dengannya. Kontroversi makin panas setelah terungkap bahwa istrinya masih aktif bekerja di Kantor BSG Calaca Manado.
Publik juga mempertanyakan motif di balik langkah Poae. Muncul dugaan bahwa ia terlibat dalam kredit bermasalah senilai Rp1 miliar serta memiliki permintaan pembayaran honorarium sebesar Rp1,7 miliar yang disebut-sebut tidak tercatat dalam daftar tagihan resmi bank. Bahkan, ada klaim bahwa Poae pernah meminta pembiayaan rumah sakit untuk anggota keluarganya melalui pihak BSG.
Meski menjadi sorotan, hingga kini Poae belum memberikan klarifikasi menyeluruh kepada media mengenai tuduhan-tuduhan tersebut. Sikapnya yang membuka dugaan penyimpangan internal BSG tetap memicu perdebatan antara tuntutan transparansi dan kepatuhan pada etika profesi.
Ketua DPD PAMI Perjuangan, Jeffrey Sorongan, turut menanggapi fenomena ini. Ia menyentil persoalan moralitas dengan menyatakan, “Filosofi ‘jangan meludahi sumur tempat kamu minum’ tetap relevan. Tapi semuanya kembali pada apakah seseorang tahu diri atau tidak.”
Kasus ini menyoroti dilema antara integritas profesional, etika personal, dan hak publik atas informasi. Masyarakat kini menantikan kejelasan lebih lanjut dari kedua belah pihak, dengan harapan proses hukum dan etik yang berjalan mampu memberi keadilan secara terbuka dan objektif. (*)
