Manado — Di sebuah rumah sederhana di sudut Kota Manado, isak tangis keluarga Allan Koloay masih terdengar lirih. Duka belum benar-benar reda sejak kepergian Allan, yang menurut keluarga, meninggal dunia dalam kondisi tragis sebagai tahanan di Polda Sulawesi Utara.
Semua bermula pada 25 Maret 2024. Hari itu, Allan ditahan meski menurut keluarganya, ia sedang sakit. Sang ibu dan saudara-saudaranya tak tinggal diam. Mereka datang membawa surat keterangan dari dokter keluarga, dr. Reinhard Rompis, M.Kes, yang menjelaskan bahwa Allan membutuhkan perawatan medis, bukan penahanan.
Mereka menyampaikan langsung kepada penyidik bernama Dedi Pola. Tapi, semua upaya itu sia-sia. "Kami sudah sampaikan bahwa Allan sakit. Dokter sudah bicara. Tapi penyidik tetap memaksakan untuk menahan dia," ujar salah satu anggota keluarga.
Hari-hari di tahanan menjadi mimpi buruk bagi Allan. Perlahan, tubuhnya melemah. Hingga pada 9 April, keluarga dikejutkan oleh kondisi fisiknya yang memburuk drastis. "Kakinya mulai menghitam. Kami panik," ujar seorang kerabat. Namun bantuan medis datang terlambat. Allan baru dibawa ke RSUP Prof. Kandou dalam kondisi sangat kritis.
Tak tinggal diam, keluarga mengirimkan surat ke berbagai lembaga negara—termasuk ke Kementerian, Wakil Presiden, hingga Presiden Republik Indonesia—menuntut keadilan atas kematian Allan yang mereka nilai sebagai bentuk kelalaian yang fatal.
“Kami tidak ingin ada Allan lain yang mengalami nasib serupa. Ini bukan hanya soal hukum, ini soal hati nurani. Kami menuntut keadilan, dan kami tidak akan diam,” ujar perwakilan keluarga dengan mata berkaca-kaca.
Kini, keluarga berharap Polda Sulut berani membuka fakta dan bertindak transparan. Bagi mereka, nyawa Allan tak bisa kembali, tapi kebenaran dan keadilan harus ditegakkan—agar tak ada lagi derita yang terbungkam di balik jeruji besi.