Manado — Di balik lonjakan harga beras di pasar tradisional Sulawesi Utara, terkuak persoalan yang lebih dalam dari sekadar distribusi: ribuan hektar sawah produktif di provinsi ini ternyata sudah berubah fungsi.
Gubernur Sulawesi Utara, Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus, SE (yang akrab disapa YSK), angkat bicara soal kondisi ini usai menghadiri pelantikan pejabat di Kantor Gubernur Bumi Beringin. Dalam keterangannya kepada awak media, YSK menyampaikan bahwa sekitar 6 ribu hektar lahan sawah di berbagai kabupaten dan kota tidak lagi digunakan untuk menanam padi, melainkan sudah ditanami komoditas lain, termasuk Nilam.
"Ini yang menjadi akar masalah. Kita tidak bisa bicara swasembada beras kalau petani sudah meninggalkan sawahnya," kata Gubernur YSK.
Fakta ini mengungkap sisi lain dari persoalan naiknya harga beras—yang belakangan dijual seharga Rp14.000 hingga Rp14.500 per liter, naik signifikan dari harga normal Rp11.500–Rp12.500. Bukan semata karena distribusi atau cuaca, tapi karena berkurangnya produksi lokal akibat alih fungsi lahan.
Pilihan petani untuk beralih ke tanaman Nilam, yang dikenal sebagai bahan baku minyak atsiri, dinilai lebih menguntungkan secara ekonomi. Namun, hal ini berdampak langsung pada ketahanan pangan daerah.
Meski begitu, Gubernur meyakinkan bahwa pasokan beras untuk Sulut masih bisa diatasi melalui operasi pasar murah oleh Bulog. Langkah ini diharapkan dapat meredam gejolak harga di pasar tradisional.