Foto: (Ist)
Manado — Pernyataan terbaru dari Juru Bicara Gubernur Sulawesi Utara, Denny Mangala, menyita perhatian publik. Di tengah ramainya pemberitaan yang menyebutkan Gubernur Mayjen TNI (Purn) Yulius Selvanus, SE dinilai alergi terhadap kritik, pemerintah provinsi justru menegaskan hal sebaliknya: kritik diterima, selama “berbasis data dan fakta”.
Namun, pernyataan ini justru menimbulkan pertanyaan baru: seberapa terbuka ruang kritik di Sulawesi Utara? Apakah batas antara kritik dan fitnah mulai mengaburkan makna kebebasan berekspresi?
“Bapak Gubernur sangat terbuka menerima kritik. Bahkan beliau menilai kritik adalah vitamin bagi penyelenggaraan pemerintahan,” ujar Mangala dalam keterangannya. Ia menekankan bahwa kritik yang membangun akan menjadi pertimbangan dalam kebijakan strategis, selama tidak disertai tuduhan tanpa bukti.
Nada penegasan ini seolah ingin menjawab narasi publik yang mulai mengkhawatirkan adanya penyempitan ruang diskusi kritis di level masyarakat akar rumput.
Dalam lanskap demokrasi digital saat ini, batas antara kritik dan hoaks seringkali menjadi ranah abu-abu. Tak jarang, kritik dari masyarakat — terutama di media sosial — dianggap mencemarkan nama baik pejabat publik meskipun belum tentu tak berdasar.
Apakah ini pertanda bahwa demokrasi di Sulawesi Utara sedang diuji? Atau jangan-jangan, demokrasi hanya hidup secara formal tapi mati secara substansi?
Denny Mangala mengimbau agar media dan masyarakat menjaga ekosistem informasi yang sehat. Namun, masyarakat juga berharap agar pemerintah tidak cepat defensif dan memberi ruang yang luas terhadap berbagai suara, termasuk yang keras dan tidak nyaman sekalipun.
“Bapak Gubernur tidak pernah menutup diri terhadap kritik. Tapi mari kita bangun Sulawesi Utara dengan kritik yang cerdas, bermartabat, dan berbasis fakta,” pungkasnya.
Waktu akan menjawab: apakah kritik memang dilihat sebagai vitamin, atau justru sebagai ancaman yang dikemas dengan bahasa halus?