MITRA – Operasi tambang emas ilegal di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara (Mitra), Sulawesi Utara, kembali menjadi sorotan. Polda Sulut menyita tiga unit alat berat jenis excavator dari lokasi pertambangan emas tanpa izin (PETI) di wilayah Alason dan Nibong. Namun publik kecewa—pelaku utama, yang disebut-sebut bernama Jun dan Inal, masih belum tersentuh hukum.
Tambang yang awalnya disebut tambang rakyat ini kini berubah menjadi operasi modern dengan peralatan berat. Namun sayangnya, semua dilakukan tanpa dokumen legal seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP), AMDAL, atau UKL/UPL. Negara dirugikan, lingkungan rusak, dan masyarakat sekitar terancam.
"Kami bingung. Alat kami disita, padahal kami hanya merental sesuai kontrak. Tapi yang menyuruh masih bebas keluyuran," ujar salah satu pihak rental alat berat yang identitasnya kami rahasiakan demi keamanan.
Ketiga alat berat yang diamankan—Hyunday HX 210S, Komatsu PC 195, dan Sumitomo PC S-20—ditemukan sedang aktif menggali material tanah mengandung emas. Para operator turut diamankan, sementara alat berat kini dititipkan di Polsek Ratatotok sebagai barang bukti.
Kapolsek Ratatotok, AKP Said, membenarkan penangkapan tersebut. “Alat-alat ini tertangkap tangan sedang bekerja di lokasi tambang ilegal Alason. Kami hanya dititipi barang bukti, proses selanjutnya ditangani oleh Polda Sulut,” ungkapnya.
Kawasan Hutan Lindung Jadi Sasaran
Yang lebih mengkhawatirkan, lokasi tambang tersebut berada di kawasan hutan lindung—area yang secara hukum steril dari segala bentuk aktivitas ekstraktif. Akibatnya, kerusakan ekologis pun tak terelakkan. Air sungai tercemar, hutan tergerus, dan potensi bencana seperti banjir lumpur atau longsor mengintai warga sekitar.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara secara tegas menyatakan bahwa pertambangan tanpa izin merupakan tindak pidana berat. Pelakunya bisa dijerat hukuman penjara dan denda miliaran rupiah.
Namun ironisnya, meski barang bukti dan operator sudah diamankan, masyarakat mempertanyakan kenapa aktor utama bisa bebas melenggang. Warga pun semakin geram.
"Kami butuh keadilan, bukan drama. Kalau hanya alatnya disita, tapi pemilik modal dibiarkan lepas, itu bukan penegakan hukum, tapi pembiaran," kata seorang warga Ratatotok dengan nada kesal.
Dukungan untuk Penegakan Hukum
Kapolda Sulut Irjen Pol Roycke Harry Langie menuai apresiasi atas aksi ini, yang dinilai sebagai bentuk nyata dari komitmen pemberantasan korupsi dan penambangan ilegal, sejalan dengan program nasional Asta Cita yang diusung Presiden Prabowo Subianto.
Namun tantangan belum usai. Masyarakat menuntut penyelidikan lebih serius—bukan hanya menyita alat, tapi mengungkap dan menangkap siapa dalang sesungguhnya.
Karena jika hukum hanya tajam ke bawah, maka bukan hanya aturan yang mati—tetapi juga hutan, sungai, dan masa depan generasi Sulawesi Utara.
(Tim Redaksi)