Manado – Beredar sebuah video viral di TikTok yang menuding adanya keterlibatan Gubernur Sulawesi Utara dan anaknya dalam pengaturan proyek pengadaan jasa internet di Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Video tersebut menyebut bahwa pengaturan fee dilakukan di depan dan melibatkan staf hingga pejabat tinggi. Namun, tudingan ini dengan tegas dibantah oleh mantan Kepala Dinas Kominfo, Evans Steven Liow.
Dalam wawancara eksklusif bersama tim investigasi, Evans Steven Liow menjelaskan bahwa tuduhan tersebut tidak berdasar dan sangat menyesatkan.
“Itu semua tidak benar. Gubernur maupun anaknya tidak pernah terlibat, apalagi mengatur fee atau menunjuk penyedia layanan. Apalagi disebut melibatkan staf dan pejabat Kominfo, itu murni hoaks,” tegas Steven Liow.
Steven mengungkapkan bahwa isu ini bermula saat masa kontrak penyedia layanan internet ACT berakhir. Sesuai prosedur, Kominfo membuka kesempatan kepada provider lain untuk mengajukan penawaran.
“Kami menerima penawaran dari hampir lima provider. Kami juga melakukan kajian teknis, namun belum ada satu pun yang secara menyeluruh memenuhi standar sebagaimana dikontrakkan sebelumnya,” jelasnya.
Proses tersebut, menurut Steven, dilaporkan langsung kepada Sekretaris Provinsi dan Gubernur Sulut. Arahan dari Gubernur, kata Steven, sangat jelas: ikuti aturan dan lakukan kajian teknis tanpa intervensi.
“Pak Gubernur bilang langsung ke saya: silakan proses sesuai aturan. Tidak ada penunjukan, tidak ada pengaruh, apalagi arahan ke salah satu provider,” tegasnya lagi.
Hal mengejutkan justru datang dari pihak penyedia layanan yang disebut-sebut mencoba menyuap.
“Ada yang menawarkan sampai Rp800 juta. Bahkan katanya saya akan diberi Rp400 juta. Saya langsung tolak dan usir mereka dari kantor. Saya tidak mau bertemu lagi,” ungkap Steven.
Ia juga membantah keras adanya keterlibatan tokoh-tokoh politik dalam kasus ini, termasuk menyebut nama partai Gerindra, Tommy Parasan, dan staf khusus Gubernur.
Menutup pernyataannya, Steven Liow mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya pada informasi yang beredar di media sosial, terutama yang belum diverifikasi kebenarannya.
“Di era sekarang, hoaks sangat mudah tersebar. Jangan langsung percaya apalagi jika informasinya berat sebelah dan tidak ada bukti,” tutupnya.