Iklan

Iklan

Air Mata di Lahan Pandu: Jerit Sunyi Wilson Kaliwuge yang Kehilangan Sumber Hidup

Swara Manado News
Rabu, 17 September 2025, 15:47 WIB Last Updated 2025-09-17T07:47:49Z


Manado – Pagi itu, matahari baru saja naik ketika deru mesin eskavator memecah kesunyian di Kelurahan Pandu. Tanah bergetar, tanaman tumbang, dan debu beterbangan. Di tepi lahan, seorang lelaki tua berdiri terpaku. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca, lalu air mata jatuh tanpa bisa dibendung. Dialah Wilson Kaliwuge, petani yang sudah lebih dari empat dekade menggarap tanah itu.


“Semua hilang dalam sekejap. Padahal lahan ini tempat kami menggantungkan hidup. Apa lagi yang saya punya kalau ini sudah tidak ada?” lirih Wilson, dengan suara nyaris patah.


Bagi sebagian orang, lahan itu hanyalah hamparan dua hektare tanah kosong. Namun bagi Wilson, lahan itu adalah hidupnya. Di awal tahun 80-an, ketika tanah tersebut masih berupa hutan belukar penuh akar dan semak, Wilson dengan izin lisan dari seorang mandor Angkatan Laut bernama Hasan, memberanikan diri membuka lahan itu. Dengan cangkul sederhana, ia mulai menanam, merawat, hingga menjadikannya ladang pangan bagi keluarganya.


“Ada yang menggugat, ada yang mengklaim, tapi saya tidak pernah memikirkan soal kepemilikan. Saya hanya menanam untuk makan. Saya tidak kaya, saya hanya petani kecil,” ujarnya pelan, menahan perih di dada.


Namun pagi itu, tanpa pemberitahuan, pemerintah kota melalui Dinas Lingkungan Hidup datang dengan alat berat. Dalam hitungan jam, puluhan tahun kerja keras dan kenangan Wilson rata dengan tanah. Ia hanya bisa menangis, melihat tanaman yang dirawatnya dengan keringat dan doa lenyap begitu saja.


“Saya tidak minta tanah itu jadi milik saya. Saya cuma minta ganti rugi tanaman. Itu saja, supaya kami bisa terus bertahan hidup,” kata Wilson, kali ini dengan suara bergetar, sembari mengusap air matanya.


Di sisi lain, Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kota Manado mengakui pihaknya hanya menjalankan tugas sesuai instruksi pimpinan Walikota. “Kami hanya melaksanakan kewajiban. Memang di anggaran pemerintah tidak ada pos untuk ganti rugi tanaman,” jelasnya kepada wartawan.


Meski begitu, ia tak bisa menutup mata melihat penderitaan Wilson. “Sebagai sesama Kawanua, hati saya tergerak. Saya pribadi, lewat ikatan keluarga yang saya pimpin, mengeluarkan dana dari kantong sendiri sebagai bentuk empati. Ini bukan kewajiban, tapi rasa solidaritas,” ucapnya dengan nada tulus.


Bantuan pribadi itu memang meringankan, namun tidak cukup untuk menghapus luka hati Wilson. “Saya berterima kasih, tapi saya masih berharap pemerintah mau mendengar suara kami. Jangan biarkan petani kecil seperti saya menangis sendirian. Kami tidak banyak menuntut, hanya ingin dihargai hasil kerja kami,” ungkapnya dengan tatapan kosong menatap lahan yang kini gersang.


Kisah Wilson bukan sekadar cerita kehilangan tanah atau tanaman. Ia adalah potret nyata bagaimana pembangunan kerap menyisakan luka bagi mereka yang hidup di pinggiran. Tangis seorang petani di Pandu menjadi jerit sunyi yang semestinya didengar pemerintah—bahwa di balik proyek besar, ada hati kecil yang terlukai.

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Air Mata di Lahan Pandu: Jerit Sunyi Wilson Kaliwuge yang Kehilangan Sumber Hidup

Terkini

Iklan