SULAWESI UTARA – Jalan Nasional Trans Sulawesi yang seharusnya menjadi urat nadi transportasi justru berubah menjadi jebakan maut.
Proyek tambal sulam yang dibiayai APBN 2025 di wilayah Sulawesi Utara terpantau mangkrak, amburadul, dan terkesan ditelantarkan, memunculkan aroma menyengat dugaan permainan dana proyek negara.
Pantauan lapangan di Desa Ambang, Kecamatan Inobonto, Kabupaten Bolaang Mongondow, menunjukkan kerusakan parah sepanjang 3–4 kilometer. Lubang besar dibiarkan menganga tanpa rambu, tanpa pengaman, dan tanpa tanggung jawab. Aspal tambalan mengelupas, sebagian hanya berupa urugan seadanya.
Kondisi ini bukan sekadar kelalaian, melainkan ancaman langsung terhadap nyawa pengguna jalan.
“Ini bukan jalan desa, ini jalan nasional. Anggarannya APBN. Tapi hasilnya seperti proyek siluman. Kalau tidak ada permainan, mustahil begini kondisinya,” tegas Stenly W, pengguna jalan, Kamis (17/12/2025).
Fakta bahwa proyek masih amburadul hingga akhir Desember 2025 memicu dugaan kuat bahwa anggaran telah dicairkan, namun pekerjaan tidak sebanding dengan nilai dana yang digelontorkan.
Jika benar demikian, maka praktik ini bukan sekadar gagal kerja, tetapi berpotensi menjadi modus klasik penjarahan APBN: pekerjaan tambal sulam, kualitas ditekan, keselamatan publik dikorbankan.
Pembiaran jalan rusak secara terang-terangan melanggar Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan, khususnya kewajiban penyelenggara jalan untuk menjamin keselamatan pengguna.
Lebih fatal, UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyatakan:
- Pasal 273 ayat (1)
Penyelenggara jalan yang tidak segera memperbaiki jalan rusak dan mengakibatkan kecelakaan diancam penjara hingga 5 tahun atau denda Rp120 juta.
Jika korban jiwa terjadi, ancaman pidana dapat meningkat drastis.
Dugaan pekerjaan asal-asalan membuka pintu penerapan UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo UU 20 Tahun 2001:
- Pasal 2 ayat (1): Merugikan keuangan negara → penjara seumur hidup / maksimal 20 tahun
- Pasal 3: Penyalahgunaan kewenangan → penjara maksimal 20 tahun + denda Rp1 miliar
Jika audit menemukan volume fiktif, pengurangan spesifikasi, atau selisih antara kontrak dan progres fisik, maka PPK, pengawas, hingga kontraktor tidak bisa lagi berlindung di balik alasan cuaca.
Saat dikonfirmasi, Kepala BPJN Sulut Handiyana memilih jawaban normatif dan melempar ke hotline humas. Alasan “masih tahap patching” dinilai tidak sejalan dengan fakta lapangan, sebab lubang jalan dibiarkan terbuka tanpa pengamanan berbulan-bulan.
Respons Humas BPJN yang minim keterangan justru memperkuat kesan ada yang disembunyikan.
Publik mendesak Kejaksaan, Kepolisian, KPK, BPK, serta Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR segera turun tangan.
Jika negara membiarkan jalan nasional menjadi ladang proyek asal jadi, maka yang dikorbankan bukan hanya uang negara, tetapi nyawa rakyat.
Jalan berlubang boleh ditambal, tapi kebohongan anggaran akan berujung di balik jeruji besi.

.jpg)
