Iklan

Iklan

Inal Supit dan Luka yang Ia Balut dengan Keikhlasan: Wartawan Bukan Musuh, Tapi Mitra Kerja Saya

Swara Manado News
Senin, 20 Oktober 2025, 17:37 WIB Last Updated 2025-10-20T09:37:17Z


Ratatotok — Sore itu angin tambang berhembus pelan, membawa debu halus dan kenangan pahit yang belum sepenuhnya hilang. Di tengah hamparan tanah yang pernah jadi saksi kerja kerasnya, Inal Supit duduk termenung. Di genggamannya, sebuah ponsel masih menampilkan deretan berita daring — sebagian memojokkan namanya, sebagian lagi menafsirkan kisah yang bahkan belum sempat ia ceritakan.


“Berita itu datang bertubi-tubi,” ucapnya lirih, menatap jauh ke arah bukit Ratatotok. “Tentang saya, tentang Maya. Rasanya seperti dihantam badai di siang bolong. Sakit, tapi saya tidak bisa lari.”


Inal bukan hanya seorang pengusaha tambang. Ia adalah anak tanah Ratatotok yang membangun usahanya dari nol, dari keringat dan keyakinan. Karena itu, ketika pemberitaan miring mulai menyebar, ia sempat kehilangan napas. Tidak karena takut kehilangan harta — tapi karena nama baik yang ia jaga seakan dipertaruhkan di hadapan publik.


“Waktu itu saya sempat bertanya ke teman-teman wartawan,” ujarnya lagi, kali ini dengan nada setengah tersenyum. “‘Kyapa kasiang cuma kita yang jadi sasaran pemberitaan?’ Dan mereka menjawab, ‘karna cuma bos yang Torang kenal.’ Saya diam lama. Dari situ saya belajar, ternyata dikenal itu juga ujian.”


Alih-alih marah, Inal memilih memahami. Ia tahu wartawan bekerja dengan hati, meski kadang tajam di pena. Ia tahu berita bukan sekadar tulisan, tapi cermin yang menampilkan wajah dunia dari banyak sisi.


“Saya tidak mau menaruh dendam,” katanya dengan tenang. “Saya justru ingin tetap membuka pintu. Bagi saya, wartawan itu mitra kerja, bukan musuh.”


Kalimat itu diucapkannya tanpa nada dendam, tanpa getar amarah. Hanya ada keikhlasan yang lahir dari seseorang yang telah melewati badai dan memilih tetap berdiri tegak.


Inal bahkan meminta maaf kepada insan pers, jika pernah ada sikap atau ucapan yang menyinggung perasaan.


“Kadang kita tak sadar, dalam letih dan emosi, kata-kata bisa melukai. Kalau itu terjadi, saya minta maaf dari hati yang paling dalam,” ucapnya dengan nada berat.


Sikap rendah hati itu rupanya menggugah banyak orang, termasuk Aktivis Perempuan Sulut, Yuni Wahyuni Srikandi, yang mengenal Inal sebagai sosok tangguh tapi lembut hatinya.


“Tidak semua orang bisa seperti dia,” kata Yuni. “Banyak yang memilih melawan dengan ego, tapi Inal justru merangkul dengan ketulusan. Itu yang membuatnya berbeda.”


Kini, setelah badai mulai reda, Inal berharap hubungan antara pelaku usaha dan media tetap berjalan dalam semangat saling menghormati. Ia percaya, kebenaran tidak akan hilang selama disampaikan dengan hati.


 “Saya hanya ingin semua berjalan dengan niat baik,” katanya menutup perbincangan. “Kalau kita bisa saling menghargai, maka tak ada lagi jarak antara pena dan pengusaha — hanya kemitraan untuk kebaikan bersama.”


Matahari perlahan tenggelam di balik tambang Ratatotok, meninggalkan cahaya jingga di wajahnya. Di antara debu dan sisa hari, seorang pengusaha muda belajar tentang arti paling dalam dari kata maaf dan ikhlas. (Denny)

Komentar
Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE. #JernihBerkomentar
  • Inal Supit dan Luka yang Ia Balut dengan Keikhlasan: Wartawan Bukan Musuh, Tapi Mitra Kerja Saya

Terkini

Iklan