Manado — Di tengah keterbatasan fasilitas dan ruang belajar yang jauh dari kata mewah, semangat kemanusiaan justru tumbuh paling terang. Di SMKN 4 Manado, dari sebuah ruangan sederhana yang berbau alkohol medis dan suara pelan alat pemeriksa tekanan darah, lahir kisah yang menghangatkan hati — tentang kepemimpinan yang rendah hati, pengabdian yang tulus, dan pendidikan yang hidup dari cinta.
Kepala Sekolah Gratianus Gagarin Sumenda Sentinuwo bersama dua guru keperawatan, Gladys G.T. Solang, S.Kep dan Satria Bobihu, S.Kep, menjadi sosok di balik nyala kecil itu. Mereka bukan sekadar pengajar, tetapi penyalur makna tentang bagaimana belajar bisa menjadi bentuk kasih terhadap sesama.
Pagi itu, di antara meja praktik yang mulai kusam, puluhan siswa jurusan keperawatan sibuk memeriksa tensi darah dan kadar gula warga sekitar. Tak ada spanduk besar, tak ada publikasi megah. Hanya ketulusan dan empati yang memancar dari wajah-wajah muda yang sedang belajar menjadi pelayan kemanusiaan.
“Anak-anak ini belajar bukan untuk mencari nilai, tapi untuk memberi manfaat,” ujar Gratianus dengan nada lirih, menatap anak didiknya yang sedang memeriksa seorang ibu lansia.
“Saya hanya ingin jurusan ini tetap hidup, dihargai, meski dalam serba keterbatasan.”
Jurusan keperawatan di SMKN 4 Manado bukan sekadar tempat menimba ilmu medis. Ia menjadi ruang di mana nilai kemanusiaan diajarkan dengan cara paling nyata — melayani orang lain dengan hati.
Gladys G.T. Solang, sang pembimbing sabar, tampak menuntun satu per satu siswanya. Tangannya lembut, suaranya tenang. “Yang penting mereka belajar dengan hati. Keperawatan bukan hanya tentang ilmu, tapi tentang empati,” katanya sambil menenangkan siswanya yang gemetar saat mengambil sampel darah.
Sementara itu, di sudut ruangan, Satria Bobihu mengawasi dengan mata teduh. Ia tahu betul perjuangan di balik senyum para siswa. “Kami tidak punya banyak fasilitas, tapi kami punya niat. Selama anak-anak mau belajar, saya akan tetap berdiri di sini,” ujarnya dengan nada penuh tekad.
Menjelang sore, kegiatan pemeriksaan gratis itu berakhir. Warga yang datang silih berganti mengucapkan terima kasih, bahkan ada yang menitikkan air mata haru. Seorang ibu tua memeluk siswa dengan lembut, berkata lirih, “Terima kasih, Nak. Kalian baik sekali.”
Tak ada penghargaan, tak ada tepuk tangan panjang — hanya langit jingga yang menjadi saksi bahwa dari ruang kecil di SMKN 4 Manado, sedang tumbuh harapan besar untuk masa depan bangsa.
“Mereka ini bukan sekadar calon perawat,” ucap Gratianus pelan. “Mereka adalah anak-anak yang belajar menolong sesama. Dari sini, kita sedang menyalakan lilin kemanusiaan.”
Di tangan Gratianus, Gladys, dan Satria, SMKN 4 Manado membuktikan bahwa pendidikan sejati tidak butuh megahnya gedung, tapi besarnya hati.
Karena dari ruang sederhana itu, lahirlah sinar — lilin kecil yang menerangi gelapnya keterbatasan.


