Boltim — Dugaan adanya keterlibatan aparat penegak hukum dalam melindungi aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Desa Tobongon, Kecamatan Modayag Barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Boltim), kini memasuki babak baru.
Pengakuan Norma Makalalag, pensiunan pejabat Dinas PUPR Boltim, memperkuat bukti bahwa aktivitas pertambangan di kawasan tersebut memang berlangsung tanpa izin resmi.
Aktivitas tambang di wilayah Perkebunan Salak itu terus beroperasi secara terbuka.
Dua unit alat berat jenis excavator tampak leluasa mengeruk tanah dan batuan, disertai sistem pengolahan material emas skala besar.
Kondisi ini membuat warga resah, khawatir akan ancaman longsor dan pencemaran air sungai.
“Sudah berbulan-bulan alat berat itu bekerja. Kami takut tanah longsor dan sungai jadi keruh,” ungkap salah satu warga Tobongon yang meminta identitasnya dirahasiakan, Jumat (1/11/2025).
Namun yang menjadi sorotan tajam bukan hanya aktivitas tambang itu sendiri, melainkan dugaan pembiaran dan perlindungan dari oknum aparat penegak hukum.
Sejumlah warga menilai, Polres Boltim seolah menutup mata terhadap aktivitas ilegal tersebut.
“Ini sudah terang-benderang. Kalau Polres Boltim tidak berani bertindak, kami minta Polda Sulut turun tangan dan bongkar siapa yang membekingi tambang ini,” tegas salah satu tokoh masyarakat Tobongon.
Dalam penelusuran media ini, diketahui bahwa lahan tambang tersebut milik Norma Makalalag.
Saat dikonfirmasi, Norma tidak menampik hal itu.
“Kita memang yang punya lahan. Memang awal mo beking jadi kobong. Karna ada mas jadi torang olah. Torang mo urus izin," ujar Norma sesuai isi rekaman saat dihubungi melalui telepon WhatsApp.
Pernyataan tersebut justru mempertegas adanya aktivitas tambang tanpa izin, yang jelas melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba.
Dalam pasal 158 disebutkan, setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin dapat dijerat pidana penjara hingga 5 tahun dan denda maksimal Rp100 miliar.
Menanggapi hal ini, Ketua Peradi Nusantara, Dr. (C). Ronald Samuel Wuisan, S.E., S.H., M.H., M.M., M.Th., menyebut dugaan keterlibatan aparat dalam praktik PETI merupakan kejahatan hukum ganda.
“Kalau benar ada oknum aparat yang membekingi tambang ilegal, itu bukan hanya pelanggaran hukum, tapi juga pengkhianatan terhadap keadilan dan kepercayaan publik,” ujar Wuisan.
Ia mendesak Polda Sulawesi Utara untuk segera mengambil alih penyelidikan dengan membentuk tim independen khusus.
“Kasus seperti ini tidak boleh ditangani secara internal. Harus transparan, agar tidak ada konflik kepentingan. Negara tidak boleh kalah dari mafia tambang,” tandasnya.
Desakan publik kini semakin kuat. Warga Tobongon menuntut tindakan tegas terhadap siapa pun yang terlibat dalam jaringan pertambangan ilegal tersebut, baik pemilik lahan, pengusaha alat berat, maupun oknum aparat yang diduga membekingi.
“Jangan tunggu ada korban jiwa. Longsor bisa datang sewaktu-waktu,” ucap seorang warga dengan nada kesal.
Kini, mata publik tertuju kepada Kapolda Sulut dan Kapolres Boltim.
Mereka menunggu bukti bahwa hukum masih hidup di tanah Totabuan Timur, atau justru kembali dikalahkan oleh uang, kepentingan, dan tambang ilegal.


